Representasi seni kontemporer Bali saat ini, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari persoalan identitas yang di dalamnya terjadi dinamika dan usaha re-interpretasi secara menerus oleh para senimannya. Stigma identitas begitu lekat dalam seni rupa Bali, berbagai kilasan sejarah mencatat bahwa seni rupa Bali menunjukkan sebuah perkembangan seni rupa yang menunjukkan pertalian perkembangan rupa seni rupa dengan nilai-nilai budaya tradisional. Dalam kontek kreativitas, identitas itu tidaklah melekat dengan sendirinya tapi merupakan sebuah konstruksi. Sehingga menatap identitas dalam seni rupa Bali berarti juga menimbang konstruksi nilai-nilai kebudayaan yang terepresentasi melalui konstruksi rupa.
Kontruksi tersebut dimulai sejak Pita Maha yang menyerap modernisasi melalui interaksi budaya dalam lingkup kolonialisme dan perkembangan segaris generasi selanjutnya. Konstruksi visual pada karya-karya Pita Maha berasal dari tradisi seni lukis wayang, ornamen dan rerajahan, kemudian berinteraksi dengan bentuk-bentuk realis yang diperkenalkan seniman dari luar seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Kemudian berkembang secara anatomis mendekati bentuk- bentuk realistik dan berkembang secara berkelanjutaan hingga saat ini. Konstruksi berikutnya memasuki perkembangan lebih lanjut pada generasi yang menyerap pengetahuan seni dari wilayah akademis, dengan kaidah-kaidah formal seni rupa modern Barat. Setelah menyerap wawasan seni rupa modern, mereka mengembangkan bahasa rupa “baru” yang berbeda dari pendahulunya, dengan meminjamnya dari bahasa rupa modern Barat. Generasi akademis ini memakai bahasa rupa modern yang lebih menekankan eksplorasi dan penemuan bentuk-bentuk formal dan reprentasional.
Konstruksi rupa dalam karya-karya mereka memadukan kecenderungan abstraksi bentuk dari ikonisitas yang bersumber dari tradisi religi Hindu Bali, dengan berlandaskan pengolahan elemen-elemen artistik dan kaidah-kaidah estetik. Model eksplorasi ini juga berkembang dan bahkan menjadi modus artistik yang berulang hingga saat ini. Representasi karya-karya seniman Bali pada perkembangan generasi tahun 2000-an memperlihatkan eksplorasi elemen-elemen budaya kembali hadir dalam dimensi yang lebih kritis. Mereka kembali mempersoalkan identitas budaya dan menjajarkannya dengan berbagai persoalan terkait implikasi modernitas.
Eksplorasinya memiliki kecenderungan pengolahan artistik yang bersifat eklektik, sebagaimana terlihat dalam karya-karya Andre Yoga, Agus Saputra, Ida Bagus Putu Purwa, Kemal Ezedin dan perupa muda lainnya.
Dalam perkembangan seni rupa kontemporer global wacana identitas menjadi tema yang banyak diusung seniman terutama dari di luar Barat, antara lain; identitas dalam kerangka wacana poskolonial. Serta tema identitas dalam kerangka feminisme yang merupakan gerakan seniman perempuan untuk merepresentasikan perjuangan dan eksistensi mereka pada medan seni rupa. Gerakan feminisme lebih memunculkan identitas personal mereka sebagai perempuan yang ternisbikan dan selalu menjadi objek
dalam sejarah perkembangan seni rupa.
Tema ini juga berkembang di Bali dimulai sejak IGK. Murniasih mengangkat tema-tema personal dalam karyanya secara banal. Berikutnya dilanjutkan oleh Citra Sasmita dengan mengangkat bahasa rupa tradisi seni lukis wayang Kamasan, yang didomestifikasi dalam tema-tema kritis perihal domistifikasi peran perempuan.
Di daerah Kamasan yang menjadi basis seni lukis wayang,
secara paralel juga tumbuh kesadaran oleh Mangku Muriati mengembangkan tema-tema di luar waracarita Ithihasa,
termasuk tema soal perempuan dengan ikonografi yang
berbasis interpretasi sendiri.
Citra Indentitas tersebut membawa berbagai implikasi, salah satunya menempatkan seni rupa Bali terinklusi pada wilayah yang spesifik dan kerap dibedakan dalam arus perkembangan seni rupa Indonesia. Dengan kata lain pembedaan tersebut menjadikan seni rupa Bali berada dalam posisi the other dari perkembangan seni rupa Indonesia. Dalam Perkembangan seni rupa kontemporer, wacana identitas untuk memposisikan seni rupa Bali terpisah dari lainnya sehingga bersifat spesifik dan otentik. Karena sudah sejak lama sesungguhnya medan seni rupa Bali tumbuh sebagai ruang terbuka yang inklusif, ruang eksplorasi berdimensi global perupa dari berbagai daerah dan latar belakang kultural. Perupa-perupa dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan perupa dari luar negeri telah menjadikan Bali sebagai medan kreativitas untuk sekedar mencari inspirasi dan insight, hingga menetap hingga akhir hanyatnya.
Teks oleh
I Wayan Seriyoga Parta
Kurator & Peneliti Seni Rupa
Post Identity
Bali Contemporary
Art Now
Art Moments Jakarta 2
Nov 22 2021 - Dec 21 2021