Oleh NAWA TUNGGAL
21 Maret 2021 03:15 WIB·
Arahmaini bersama Agus Suwage, Kemalezedine, dan Dewa Made Johana memamerkan karya seni cetak grafis di Galeri Artsphere, Jakarta. Pameran bertajuk Sixty Percent Arround The Sun ini berlangsung hingga 11 April 2021.
Karya seni dalam ragam wujudnya merekam dan menyampaikan pesan bermakna bagi kehidupan. Demikian pula karya seni cetak grafis dengan kekhasan teknik salinnya menunjukkan kuasa yang lebih berdaya dalam menjangkau perhatian khalayak.
”Kini dihadirkan karya-karya seni cetak grafis yang terinspirasi dari karya-karya lukisan yang pernah saya buat sebelumnya. Ini seperti dari karya yang pernah saya buat pada tahun 1994 tentang lukisan yang bertema peradaban Hindu tentang lingga dan yoni, juga menghadirkan aksara Arab gundul yang juga disebut sebagai Arab pegon, atau bangsa Melayu menyebutnya sebagai aksara Jawi,” ujar seniman Arahmaini, ketika dihubungi, Kamis (18/3/2021).
Arahmaini bersama seniman lainnya, yaitu Agus Suwage, Kemalezedine, dan Dewa Made Johana, memamerkan karya-karya seni cetak grafis di Galeri Artsphere, Jakarta. Pameran yang diberi tajuk Sixty Percent Arround The Sun ini berlangsung 12 Maret hingga 11 April 2021.
Seniman Arahmaini, Agus Suwage, dan Kemalezedine selama ini dikenal berbasis karya bukan dari seni cetak grafis, melainkan dari seni lukis atau seni kontemporer. Dewa Made Johana sebagai seniman grafis menggunakan medium seni cetak grafis, antara lain, berbasis karya-karya seni fotografinya.
”Karya ini sekadar mengilustrasikan keanekaragaman yang bisa kita jumpai ketika kita mau menengok dan menghubungkan diri dengan masa lalu,” ujar Arahmaini.
Arahmaini menyinggung sejarah penyebaran agama Islam di Jawa. Pada masa itu dikenalkan cara penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Bentuk-bentuk penyesuaian pun dilakukan sehingga aksara itu kemudian diberi istilah sebagai aksara Arab gundul atau pegon.
Pada tahun 1994, Arahmaini membuat karya lukisan yang mengeksplorasi lingga dan yoni serta menyertakan bentuk genital laki-laki dan perempuan. Ia menyertakan pula tulisan dengan aksara Arab gundul.
Karya Arahmaini ini memicu kontroversi hingga mengancam keselamatan dirinya. Kelompok tertentu menolak kebebasan ekspresi Arahmaini.
Inilah yang kemudian dianggap Arahmaini sebagai masyarakat yang sudah kehilangan identitas diri akibat keterputusan dengan akar budaya sebelumnya. Bahkan, dampak mengerikan menimbulkan paham yang radikal dan mengutamakan kekerasan untuk setiap penyelesaian masalah yang timbul.
”Bangsa kita sejak dulu mengenalkan sistem sinkretisme. Ini penerimaan terhadap sistem nilai baru dipadukan dengan nilai-nilai yang sudah diadopsi sebelumnya,” ujar Arahmaini.
Arahmaini pun menyorot keadaan masa kini. Nilai-nilai sosial keagamaan tertentu yang datang dari luar ada yang mulai dipaksakan. Ini dampak krisis identitas diri dan mengabaikan karakter budaya bangsa yang sinkretik.
Sentuhan tangan
Seniman Kemalezedine menampilkan seri karya ”The Explorer” dengan teknik seni cetak grafis carborundum dan dry point. Kemal menggunakan teknik menggores lembar akrilik, kemudian diberi tinta warna untuk membentuk cetakan grafisnya yang bercorak seni abstrak.
”Saya berangkat dari seni lukis sehingga tidak pernah bisa sepenuhnya berada di ranah seni cetak grafis. Untuk setiap karya yang dihasilkan, saya selalu menyertakan sentuhan tangan seperti layaknya menyelesaikan sebuah karya lukisan,” ujar Kemal.
Seni cetak grafis sebagai bagian dari seni rupa kini kembali diangkat untuk mendapatkan perhatian publik. Seni cetak grafis memiliki banyak tahapan pengerjaan seperti halnya melukis. Bahkan, dengan beragam metodenya seni cetak grafis membutuhkan perlengkapan teknik yang lebih rumit lagi.
Hal yang membedakan dengan karya lukisan adalah hasilnya. Karya lukisan ditujukan untuk menciptakan satu karya saja, sedangkan karya seni cetak grafis ditujukan untuk bisa menghasilkan sejumlah karya serupa dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Karakter hasil seni cetak grafis yang berulang memungkinkan nilai jual karya lebih terjangkau.
”Selama ini saya masih menempatkan diri in between (ada di antara) seni cetak grafis dan seni lukis,” ujar Kemal.
Seniman Agus Suwage menampilkan karya dengan teknik cetak lythography on aluminium plate, teknik cetak yang menggunakan media lembaran aluminium.
Agus Suwage melukis dengan pensil dan tinta khusus di atas lembaran aluminium. Lembaran aluminium dengan lukisannya itu diperlakukan khusus menjadi sebuah modul cetakan seni grafis untuk menggandakan hasil karya.
”Karya-karya seni cetak grafis yang dipamerkan sekarang sebetulnya merespons karya-karya lukisan yang pernah saya buat sebelumnya. Ini semacam reproduksi,” ujar Agus Suwage.
Karya Agus Suwage berjudul ”Buku Putih” bertutur tentang masa-masa studi di sekolah kedokteran STOVIA pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sekelompok mahasiswa berkumpul di sebuah meja bedah mayat.
Mahasiswa kedokteran memiliki kelaziman untuk mempelajari bedah mayat. Akan tetapi, Agus Suwage menempatkan bedah mayat itu sebagai sesuatu yang penting seperti buku putih dan terperangkap dalam sistem kekuasaan otoriter.
Mempelajari buku putih seperti mempelajari bedah mayat. Itu sama-sama memiliki kegunaan dalam kehidupan sosial. Karya ini merupakan kritik Agus Suwage terhadap sistem politik bermuka demokrasi, tetapi memiliki roh kekuasaan otoriter.
Karya Agus Suwage lainnya, ”Sirkus Demokrasi”, terinspirasi oleh seni akrobatik mistik debus. Lagi-lagi Agus Suwage menghadirkan kritik politiknya bagi penyelenggaraan sistem pemerintahan seperti sirkus demokrasi.
Sistem pemerintahan seperti sirkus demokrasi jauh dari transparansi publik. Akuntabilitasnya pun lemah sehingga banyak argumentasi tidak masuk akal. Tampilannya sekadar akrobatik seperti sirkus.
Dewa Made Johana menampilkan karya seni cetak grafis berbasis seni fotografi. Dari satu jepretan dihasilkan karya yang bisa beragam ekspresi warnanya. Teknik seni grafis berhasil menunjukkan impresi dan keindahan seni fotografi tersendiri.
Kolaboratif dan jarak jauh
Pengerjaan karya seni cetak grafis berlangsung secara kolaboratif dan memungkinkan untuk diproduksi secara jarak jauh. Pameran ini melibatkan studio seni cetak grafis Black Hand Gang di Ubud, Bali.
Agus Suwage mengerjakan karya di atas lembaran aluminium itu di tempat tinggalnya di Yogyakarta. Dia kemudian mengirimkan ke Bali untuk proses pencetakan. Setelah karya cetak dihasilkan, lalu dikirim kembali ke Yogyakarta untuk ditandatangani Agus Suwage.
”Selanjutnya karya siap dipamerkan dan dikirim ke Jakarta,” ujar Agus Suwage.
Pemilik studio seni cetak grafis Black Hand Gang (BHG), David Sullivan, mengatakan, seni cetak grafis merupakan bagian dari fine art atau seni rupa murni yang masih mendapat penghargaan tinggi, khususnya di Eropa. Ini tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan di Indonesia supaya mendapat perhatian publik yang lebih baik.
”Seni cetak grafis menunjukkan metode yang cukup rumit dan berlapis-lapis. Di situlah keunikan dari karya seni ini,” kata David.
Karya seni cetak grafis yang diproduksi dalam satu edisi bisa dengan beberapa cetakan ini memungkinkan untuk mendapatkan nilai jual yang lebih terjangkau.
Pemilik Artsphere Gallery, Maya Sudjatmiko, menaruh harapan di tengah pandemi Covid-19 ini, karya-karya seni lebih mudah diapresiasi publik.
”Dalam situasi dan kondisi apa pun, masyarakat tetap membutuhkan inspirasi dan peran seni untuk kehidupan. Melalui karya-karya seni cetak grafis ini diharapkan menjadi lebih mudah dijangkau masyarakat,” ujar Maya.
Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Comentarios