Walaupun pada umumnya orang belajar menggunakan cat air sejak usia dini, pada kenyataanya karya-karya paling popular secara global tetaplah lukisan cat akrilik dan minyak. Di jaman Renaissance, cat air digunakan untuk sketsa dan ilustrasi yang informal. Lalu cat air meningkat popularitasnya di era eksplorasi pelayaran dan kolonial, saat itu para explorer Eropa menjelajah bumi, mendokumentasikan lansekap, wildlife, alam dan apa saja yang mereka lihat dengan cat air ke atas buku. Di abad ke 19, seorang ornithologist bernama John James Audubon, menarik perhatian dengan buku The Birds of America, berisi 25 spesies burung yang digambar dengan cat air. Cerita-cerita indah karya cat air tersebut tetaplah redam di antara riuhnya geliat dunia seni modern. Kenapa begitu? “Karena watercolor secara teknis jauh lebih sulit, sehingga seniman watercolor tidak banyak. Kemudian, banyak persepsi yang mengira medium kertas jauh lebih rapuh,” ujar Maya Sujatmiko dari Artsphere Gallery yang tengah menyelenggarakan pameran tunggal seniman cat air, Galuh Tajimalela, berjudul “Toward the Estuary” (3 Februari – 14 Maret 2024).
Perpisahan Sang Pangeran Sang Pengabdi #2 – 103 X 160 cm
Berdialog dengan realitas air
Kalau kalian berekspektasi bahwa karya-karya yang dipamerkan di Artsphere Gallery tipikal lukisan cat air seperti awan-awan, ombak dan samudera, atau flora dan fauna, bisa jadi kalian akan urung untuk datang dan melihat langsung apa yang sedang dipamerkan. Galeri ini mempersembahkan kenyataan yang berbeda dengan cair, kenyataan yang mencengangkan bagi awam, kenyataan bahwa kuas Galuh Tajimalela bisa menyapu kertas serealis karya fotografi. Pada lukisan berjudul “The Dialogue” di atas kertas berdimensi 100 x 130 cm, menggambarkan sosok Gusdur dan Jenderal Hoegeng (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun 1968-1971), yang sedang berkelakar, keduanya begitu hidup, warna kulit wajah, bibir, kerut wajah, sangat nyata. Kemeja Gusdur dan baju seragam Kepolisian Jenderal terlihat bahan kainnya berbeda. Potret kedua tokoh ini dileburkan dengan sapuan-sapuan kontemporer yang menyiratkan bebasnya gerak tangan Galuh. “Galuh, salah satu master pelukis cat air di Indonesia saat ini,” ujar Maya Sujatmiko.
Kami Adalah Kontjie – 108 X 100 cm
Manufer sapuan cat air
Manufer Galuh dengan memasukkan gaya lukisan potret ke tradisi lukisan cat air, bukanlah hal yang mudah. Perlu kemampuan dan kesabaran untuk memotret wajah-wajah sekaliber Gusdur, Pangeran Diponegoro, Raden Saleh, Jenderal Sudirman, atau Frida Kahlo, dengan cat air. Berbeda dengan cat akrilik yang bisa ditimpa cat lagi jika terjadi kesalahan atau harus menyesuaikan dengan perubahan pikiran, maka kebebasan tersebut tidak ada di alam cat air, apa yang akan disapukan harus dalam perhitungan dan perencanaan yang tinggi. “Awalnya saya menggunakan cat akrilik dan minyak. Lalu tahun 2013, mulai marak cat air di Indonesia, saya mencoba mempertajam penggunaan cat air,” ujar Galuh. Keputusannya untuk fokus di cat air, membawa Galuh dan beberapa teman mendirikan KOLCAI (Komunitas Cat Air Indonesia). Saat ini anggotanya sudah sekitar 20 ribuan.” Ujar Galuh yang suka akan figur-figur orang ternama.
Kahlo’s Burden – 41 X 31 cm
Penghargaan dari pencapaian cat air
Pada tahun 2014, Galuh melibatkan diri dalam International Watercolor Society (IWS) yang berbasis di Turki. Sejak itu Galuh rajin mengikuti pameran internasional sampai ke 22 negara. “Anggotanya ada di 100 negara, perkembangannya sangat pesat,” kata Galuh. Tahun 2016 Galuh meraih tempat ketiga untuk kategori komposisi pada kontes cat air yang diadakan IWS di Albania. Tahun 2017, Galuh meraih tempat kedua untuk kategori Human Figure dalam kontes IWS di Bulgaria. Galuh selalu meraih tempat di setiap tahun kontes yang diadakan IWS. Bahkan di tahun 2019 Galuh meraih peringkat pertama di kategori Human Figure di Mexico (2019), dan kembali meraih peringkat pertama di IWS International Contest di Moscow (2020). Dari begitu banyak perjalanan dan pencapaian, batu kali inilah Galuh berkesempatan pameran tunggal di Artsphere Gallery, di Dharmawangsa Square, Jakarta Selatan.
Emma Poeradiredja (Panon Poe ti Bandung) – 110 X 150 cm
Berteduh di Bawah Pohon raden Saleh – 131 X 103 cm
Breaking Through Glass Ceiling – 130 X 100 cm
Galuh Tajimalela dan Marc Klok (Persib) pada pameran koran LUXINA edisi perdana yang menampilkan karya Galuh di dalam rubrik Seni.
Yorumlar